TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA

Rabu, 03 Agustus 2011

SAYANG, AKU MENGASIHIMU.

  • “Mama… , saya mau masuk IPS …. Nggak mau masuk IPA…” tegas Tabita.

    “Sebaiknya kamu masuk IPA, karena banyak pilihan nantinya kalau meneruskan ke Perguruan Tinggi. Kamu bisa ambil jurusan pertanian, tehnik dan bila mau kamu juga bisa ambil jurusan sosial ekonomi…” kataku coba memberi masukan.

    “Tapi aku nggak suka pelajaran eksak…” bantah Tabita dengan kesal.

    “Nilai pelajaran eksakmu kan bagus, cobalah… pasti nantinya juga kamu suka. Kamu harus pikirkan peluang ke depannya. Banyak pilihan jurusan yang bisa dipilih, dibandingkan kalau Tabita ambil IPS….” Sahutku agak keras.

    Terus terang, dalam pemilihan jurusan di SMA itu, antara aku dan Tabita putraku sempat terjadi ketegangan. Dia ingin masuk jurusan IPS dan aku ingin dia masuk IPA dengan pertimbangan, ia bisa ikut jejakku masuk jurusan pertanian selulus SMA dan akhirnya bekerja di Kementerian Pertanian, atau dia bisa masuk teknik dan bisa bekerja di Kementerian PU seperti kakek, tante atau omnya.

    Namun setelah sharing dengan ibu Bernadeth, tetangga sebelah rumah seorang dosen UI. Aku akhirnya bisa menerima putusan Tabita untuk memilih jurusan yang dia suka.

    “Lisa, pilihan apapun yang putramu mau, itu adalah haknya. Dan jurusan IPS juga adalah pilihan yang bagus. Dia nantinya bisa memilih jurusan ekonomi, hukum, bahasa, perbankan, akuntansi, atau apapun yang ia suka.

    Kalau kamu paksakan apa yang menurutmu bagus untuk masa depannya, baginya belum tentu itu bagus. Misalnya saja ia menurut, belum tentu juga nantinya semuanya berjalan dengan baik, karena ada unsur keterpaksaan.

    Yang penting kamu sebagai ibu, terus mendampinginya, memberikan pengarahan padanya, agar ia bertanggung jawab dengan pilihannya itu. Menjadi apa yang ia impikan bagi kehidupan masa depannya” ujar bu Bernadeth dengan bijak.

    Aku menyerah dengan pilihan Tabita. Dan kejadian itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu.

    Dan aku bersyukur karena aku tidak ngotot dengan keinginanku, dan memaksakan kehendakku pada putraku. Aku prihatin dengan seorang teman yang memaksakan kehendaknya agar putranya masuk fakultas kedokteran, namun setelah beberapa tahun putranya terganggu jiwanya karena tidak mampu mengikuti kuliah di fakultas tersebut. Masa depan anak yang hancur karena ambisi orang tua.

    Sekarang Tabita sedang menyelesaikan skripsinya di Fisip jurusaan Hubungan Internasional, ia mempunyai impian menjadi seorang diplomat.Tuhan Yesus kiranya menolongnya mencapai impian itu. Amin.

    Saudaraku terkasih,
    Memang untuk mencapai semua ini, bukanlah suatu perjalanan mulus dan licin, begitu banyak onak duri yang harus dilalui. Keputus asaan karena banyak waktu terbuang untuk hobby di bidang musik yang menyebabkan kuliah terbengkalai.

    Kebohongan berkepanjangan untuk suatu gelar, sekedar membuat bangga orang tua. Dan orang tua yang terpukul karena tersibaknya kebohongan yang menghancurkan impian, tentang kehidupan putra yang diharapkan bisa mandiri untuk generasi didepannya.

    Kepahitan, keputus-asaan, perasaan gagal dan tak berguna, dan kesakitan yang bercampur aduk menjadi satu. Namun disinilah pentingnya kebersamaan diantara keluarga, saling menguatkan ditengah keterpurukan. Menyerahkan dengan kepasrahan yang nyaris ambruk di tangan Sang Empunya Kehidupan. Pasrah dalam doa dan pengharapan yang nyaris punah.

    Memaafkan setulusnya, yang lebih didominasi kerinduan hati untuk menolong, menyelamatkan dan menerima kenyataan bahwa di saat yang paling genting sekalipun tangan Tuhan masih menopang. Memberikan jalan keluar bagi umatNya yang menggapai pertolongan dengan pengharapan yang kuat bahwa semuanya akan berakhir dengan menyenangkan.

    Mempertebal ketabahan, kesabaran, dan kerjasama untuk memperbaiki keadaan yang sudah caruk maruk. Bergandengan tangan untuk saling menolong dan menguatkan.

    Dan pendekatan sebagai seorang sahabat dan pribadi yang bebas untuk menentukan pilihan pribadi terbaik, saling memahami satu dengan lainnya, dan penyerahan total kepada kehendak Tuhan, akhirnya memuluskan jalan untuk mencapai keberhasilan.

    Melepaskan rasa ego pribadi seorang tua yang merasa bisa menentukan kehidupan yang terbaik bagi putranya, dan menyadari bahwa seorang anak adalah suatu pribadi tersendiri yang unik, yang mempunyai kehidupan pribadi.

    “Tabita sudah menikmati fasilitas dari jerih payah orang tua, bisa bersekolah dengan baik, mendapatkan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari, bisa memperoleh apa yang diinginkan walaupun harus secara prioritas kepentingan. Mama berharap, Tabita bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Berjuang untuk keberhasilan kuliah yang menjadi pilihan sendiri. Selesai…, bekerja …., dan berumah tangga dengan perempuan seiman yang takut Tuhan. Kemuadian nantinya mendidik anak-anak yang akan hadir sebagai orang tua yang bertanggung jawab…” itulah yang selalu kuingatkan pada Tabita.

    Saudaraku terkasih,
    Tanggal 18 Juli 2011, Tabita berumur tepat 26 tahun. Usia yang sudah sangat dewasa untuk menentukan hal yang terbaik untuk masa depannya sendiri.

    Aku selalu berdoa Tuhan Yesus memampukan ia bersikap bijak untuk berjuang meraih masa depan yang baik, dan nantinya mampu berbuat yang terbaik sebagai suami, orang tua yang bertanggung jawab bagi keturunannya dan orang disekelilingnya. Amin.

    “Mama waktu menikah umur 25 tahun dan almarhum papamu umur 26 tahun….” Kataku waktu melihat Tabita tenang-tenang saja tanpa ada teman perempuan yang spesial. Dia hanya tersenyum.

    Tapi sungguh, aku berharap setelah ia menyelesaikan kuliahnya, dan kemudian bekerja, Tabita segera dipertemukan Tuhan dengan perempuan seiman yang takut Tuhan yang akan menjadi pendamping hidupnya dan melahirkan anak-anaknya.


    Saudaraku terkasih,
    Satu pelajaran berharga yang ingin kubagikan padamu.

    Tolong, jangan pernah paksakan ambisi pribadi kita selaku orang tua kepada anak-anak kita, walaupun menurut kita itu terbaik bagi mereka.

    Mereka adalah pribadi bebas yang berhak untuk menentukan pilihan masa depannya sendiri. Tugas kita sebagai orang tua adalah memfasilitasi semua kebutuhan mereka semampu kita, dan mengarahkan mereka secara bijak, jika mereka mulai melenceng dari tujuan utama mereka untuk mendapatkan kehidupan masa depan yang baik.


    (Amsal 19:18,20) Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya. Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan.

    Discipline your son while there is hope, but do not set yourself to his ruin. Hear counsel, receive instruction, and accept correction, that you may be wise in the time to come.


    (Kolose 3:20,21) Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
    Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.

    Children, obey your parents in everything, for this is pleasing to the Lord. Fathers, do not provoke or irritate or fret your children, lest they become discouraged and sullen and morose and feel inferior and frustrated.
    --------------

    LORD JESUS bless you and me, now and forever. Amen.

    Renungan malam Lisa Fransisca.

0 komentar:

Posting Komentar