TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA

Sabtu, 04 September 2010

YESUS CINTA KAMU

Pada setiap Minggu siang, yaitu sesudah ibadah pagi berakhir, Pendeta Simon dengan Lucky anak laki-lakinya yang berumur 11 tahun selalu pergi ke kota untuk membagikan brosur tentang Firman Tuhan.
Namun pada hari Minggu siang itu udara di luar terasa sangat dingin karena hujan telah menyirami bumi sejak pagi.

Ketika saat untuk membagikan brosur tiba, Lucky mulai bersiap-siap mengenakan baju hangat dan mantel hujannya, serta berkata pada ayahnya, “Aku sudah siap, Pa!”
“Siap untuk apa?” Pendeta Simon menjawab.
“Pa, bukankah ini waktu bagi kita untuk membagikan brosur-brosur ini?” sahut Lucky.
“Nak… di luar udara sangat dingin dan hujan masih turun.” jawab Pendeta Simon.
“Tapi Pa, meskipun hujan turun, bukankah masih ada banyak orang yang belum mengenal Tuhan Yesus dan mereka nanti akan masuk neraka?” tanya Lucky dengan tatap mata heran.

“Tapi nak… aku tidak ingin pergi dalam cuaca seperti ini.” jawab ayahnya.
“Pa… aku harus pergi, boleh, kan?” Lucky memohon dengan wajah sedih.
Pendeta Simon ragu-ragu sejenak lalu berkata, “Kamu tetap ingin pergi? Kalau begitu, ini brosur-brosurnya dan hati-hatilah di jalan, ya.” “Terima kasih, Pa!!!” sahut Lucky dengan wajah berseri-seri.

Lalu Lucky bergegas meninggalkan rumah dan pergi menembus hujan dan udara luar yang sangat dingin. Tubuh kecilnya bagai melayang ditengah terpaan derasnya hujan, dan mantel hujan yang dikenakannya berkibar-kibar ditiup angin dan diterpa air hujan. Namun Lucky terus berjalan disepanjang jalan kota sambil membagikan brosur Injil dari rumah ke rumah. Dan setiap orang yang ditemuinya di jalan diberinya brosur Injil.

Sesudah 2 jam berjalan di tengah-tengah hujan, Lucky menggigil kedinginan, jari jemari tangannya telah membiru, giginya gemeretuk, wajahnya basah oleh siraman air hujan, tetapi masih ada satu brosur Injil terakhir yang masih ditangannya. Agak lama Lucky berhenti di suatu sudut jalan dan mencari seseorang yang dapat diberinya brosur, tetapi jalanan itu sudah sepi sama sekali. Hanya terkadang ada satu dua mobil yang lewat, dan tidak perduli dengan seorang anak kecil berusia 11 tahun yang kedinginan ditengah siraman hujan deras.

Lalu Lucky menuju ke rumah pertama yang dilihatnya di ujung jalan itu. Ia berjalan mendekati pintu depan rumah itu dan membunyikan bel. Agak lama Lucky menunggu, tidak ada jawaban dari dalam. Lalu ia memencet bel lagi dan lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Ditunggunya lagi beberapa waktu, namun masih saja tidak ada jawaban.

Akhirnya, Lucky memutuskan untuk pergi, tetapi ada sesuatu yang mencegah keinginannya untuk pergi, maka sekali lagi, dia menuju pintu, memencet bel dan mengetuk pintu keras-keras dengan tangannya. Ia menunggu, ada perasaan kuat yang membuatnya tetap ingin menunggu di depan rumah itu. Dia memencet bel lagi, dan kali ini pintu itu perlahan-lahan dibuka.

Nampak seorang wanita yang berwajah sedih berdiri di depan pintu. Wanita itu dengan pelan dan lesu bertanya, “Ada apa, nak? Apa yang dapat kulakukan untukmu?”

Dengan mata bersinar-sinar dan tersenyum, Lucky berkata, “Ibu, maafkan aku karena mengganggumu, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh mengasihimu, dan aku datang ke rumah ini untuk memberikan brosur Injil terakhir yang aku miliki. Brosur Injil ini akan menolong Ibu untuk dapat mengetahui segala sesuatu tentang Tuhan Yesus dan Kasih-NYA yang besar.”
Lucky memberikan brosur terakhirnya kepada wanita itu dan ia segera pergi. Saat beranjak pergi, wanita itu berkata,”Terima kasih, Nak!”

Hari Minggu berikutnya, Pendeta Simon, ayah dari Lucky, berdiri di balik mimbar dan memulai ibadahnya dengan pertanyaan, “Adakah diantara jemaat yang ingin memberikan kesaksian atau ingin membagikan sesuatu?”

Di barisan kursi paling belakang, seorang wanita terlihat perlahan-lahan berdiri. Saat ia mulai bicara, nampak wajahnya berseri-seri dan ia berkata,“Namaku Susan. Tidak satupun di antara anda yang mengenal aku. Aku belum pernah ke gereja ini sebelumnya. Anda perlu ketahui, hari Minggu yang lalu aku bukanlah seorang Kristen. Suamiku telah meninggal beberapa waktu yang lalu dan meninggalkan aku sendiri di dunia ini.”

“Hari Minggu yang lalu,” lanjut wanita itu dengan suara terbata-bata, “Dinginnya hatiku melebihi dinginnya cuaca dan hujan di luar rumah. Aku berpikir aku tidak kuat dan tidak sanggup lagi untuk hidup. Aku sangat kesepian, sangat takut dan merasa tidak berarti. Lalu aku mengambil tali dan sebuah kursi, kemudian naik tangga menuju ke loteng rumah. Aku mengencangkan ikatan tali kuat-kuat di palang kayu penopang atap, lalu berdiri di kursi dan mengikatkan ujung tali yang lain di leherku. Aku berdiri di kursi itu dengan hati yang hancur. Saat aku hendak menendang kursi itu, tiba-tiba bel rumahku berbunyi nyaring.”

“Aku menunggu beberapa saat sambil bertanya dalam hati, ’siapakah yang membunyikan bel itu?’. Aku menunggu lagi, karena bel itu berkali-kali berbunyi dan semakin lama kedengarannya semakin nyaring, apalagi ketika terdengar gedoran keras di pintu. ‘Siapa yang melakukan hal ini?’ tanyaku dalam hati, ‘Tak ada orang yang pernah membunyikan bel rumah dan mengunjungiku’. Lalu aku mengendorkan ikatan di leherku dan bel yang berbunyi mengiringi langkahku menuju pintu depan di lantai bawah.”

“Ketika kubuka pintu, aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat, karena di teras rumahku berdiri seorang anak anak laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia menggigil kedinginan dengan tubuh terbungkus mantel hujan yang basah, tetapi wajahnya berseri-seri seperti malaikat dan senyumnya… oh aku tidak dapat menggambarkannya pada anda! Yang kurasakan kemudian adalah perasaan hampa, kesepian dan rasa takut yang menyelubungi diriku bagai meluap keluar. Dan perkataan yang diucapkannya sungguh menyentuh hatiku yang telah lama beku, ‘Ibu, aku hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh mengasihimu.’ Lalu dia memberiku brosur Injil yang saat ini kupegang.”

“Saat malaikat kecil itu menghilang dari rumahku, menembus dinginnya udara dan hujan, aku menutup pintu dan membaca setiap kata dalam brosur Injil ini. Aku kembali ke loteng untuk mengambil tali dan kursi yang akan kupakai untuk bunuh diri, karena aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Anda lihat, sekarang aku seorang Anak Raja yang bahagia dan karena ada alamat gereja ini di bagian belakang brosur, maka aku datang ke tempat ini untuk mengucapkan terima kasih pada malaikat kecil yang datang tepat pada waktu aku membutuhkannya. Tindakannya itu telah menyelamatkan jiwaku dari hukuman neraka yang kekal.”

Seluruh jemaat di gereja itu meneteskan air mata mendengar kesaksian Susan. Seiring dengan pujian syukur yang dinaikkan untuk memuliakan Tuhan Yesus, yang bergema di setiap sudut bangunan gereja, Pendeta Simon turun dari mimbar dan pergi menuju ke bangku di barisan depan, tempat dimana “malaikat kecil, Lucky” itu duduk. Pendeta Simon menangis tidak tertahankan dalam pelukan anaknya.

(1 Samuel 26:24) Dan sesungguhnya, seperti nyawamu pada hari ini berharga di mataku, demikianlah hendaknya nyawaku berharga di mata TUHAN, dan hendaknya Ia melepaskan aku dari segala kesusahan.

"LORD JESUS bless you and me, now and forever.
Amen.

Sumber: Renungan Harian.

0 komentar:

Posting Komentar