Kejadian ini sekitar 13 tahun yang lalu, tapi saya rasa masih up to date untuk diceritakan sekarang.
Sejak menjadi mahasiswa semester awal saya telah berkomitmen untuk selalu berlaku jujur. Empat tahun masa kuliah dapat saya lewati tanpa menitip absensi untuk satu haripun. Apalagi menyontek, memberikan contekan dlsb kepada teman. ”JUJUR”, kata itu yang selalu saya junjung tinggi. Saya ingin selalu menyenangkan Tuhan dalam perkuliahan saya.
Hingga satu saat, waktu menyusun skripsi saya terpentok pada dosen pembimbing 2. Dia dengan tenang mengatakan, ” Saudara mau lewat jalan mana? Jalan tikus atau jalan tol ? Kalau lewat jalan tikus, ya agak lama karena banyak lobang, macet dan berbau, ”katanya. ”Kalau lewat jalan tol ya mulus, tapi tau kan konsekwensinya,” lanjutnya lagi.
Saat dosen pembimbing 2 menyampaikan hal itu, saya belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan. Tapi lama kelamaan setelah saya renungkan arti perkataan dosen itu, saya pun mengerti bahwa saya diharuskan membayar uang pelicin agar skripsi saya dapat di-acc. Terus terang, hati saya sangat marah. Tapi saya tidak berani melawan. Zaman saya dulu, mahasiswa belum seberani saat ini yang langsung berani menyuarakan suara hatinya.
Dalam kebingungan, mudah saja bagi saya untuk mengikuti keinginan sang dosen. Apalagi saat itu keluarga kami tidak memiliki kesulitan finansial. Saya mencoba berdoa, tapi saya tidak bisa berkonsentrasi. Saya bingung, terlebih ketika sang dosen menyuruh saya datang ke rumahnya pada hari Kamis sore. Tapi hari itu hujan, jadi saya punya alasan untuk tidak datang.
Jumat siang, untuk menenangkan diri saya menonton midnite di Bioskop. Tapi film yang diputar tetap tidak menenangkan saya. Lalu saya mendengar bisikan Tuhan. ”Sekarang waktunya kamu datang ke rumah dosen mu".
Saya yakin dan percaya itu suara Tuhan. Cepat-cepat saya pulang ke tempat kost, berdoa. Kemudian saya ingat satu ayat firman Tuhan, yang bunyinya kira-kira seperti ini ”Hati raja seperti batang air di hadapan Tuhan, dialirkanNya kemanapun Tuhan ingini.” Amin.
Saya langsung mohon ampun kepada Tuhan, karena saya terlalu panik dan tidak berserah pada pimpinan Tuhan. Lalu saya berangkat ke rumah dosen tersebut dengan satu semangat baru dan percaya pada pimpinan Tuhan.
Sampai di rumahnya, dosen tersebut langsung menyambut saya dengan senyum lebar. Mungkin karena mengira saya datang dengan membawa sesuatu. Saya disambut ramah sekali. ”Skripsinya sudah langsung saya tanda tangan,” katanya . Lalu saya langsung berdiri, mengambil skripsi tersebut dari tangannya dan menjabat tangannya. Saya ucapkan, ” terima kasih pak.” Tanpa banyak basa-basi saya langsung pulang. Dosen tersebut bengong, mungkin karena saya tidak memberinya apapun.
Waktu sidang skripsi, beliau habis-habisan memojokkan saya, mungkin karena kesal dengan tingkah laku saya. Padahal dosen pembimbing dan penguji lainnya menyatakan saya layak lulus dengan nilai A, tapi dia menolak untuk memberi saya nilai. Akhirnya setelah reses beberapa saat, saya dinyatakan lulus dengan nilai B.
Tapi tak mengapa, sekalipun hanya nilai B yang ditangan, tapi saya bangga karena saya melakukan tugas saya dengan baik dan Tuhan beserta saya.
Setelah selesai sidang dan menjelang wisuda, saya mendatangi rumah dosen tersebut dengan membawa sepasang batik untuk dosen saya tersebut. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menolak untuk memberikan uang pelicin, tapi saya tahu bagaimana caranya berterima kasih.
(Kesaksian : lomak tiodinar)
0 komentar:
Posting Komentar